Episode 3
Saya pikir itu cuma ngopi dan nonton. Tapi ternyata, semesta lagi senang main perasaan. Karena hari itu, setelah nonton film dan makan malam seadanya, langit berubah gelap dan suara hujan datang tanpa aba-aba.
Dia lihat saya agak panik. Saya memang lupa bawa payung, dan jaket saya terlalu tipis buat hujan malam. Dia buka jaketnya—tanpa banyak tanya—dan langsung disampirkan ke pundak saya. Hangatnya bukan cuma dari bahan jaket, tapi dari niat yang diam-diam bikin dada saya… sesak. Dengan cara yang aneh, tapi manis.
Kami berdiri di bawah atap kecil, menunggu hujan yang nggak kunjung reda. Dia diem. Saya diem. Tapi justru di situ, detik-detik hening itu kayak nyampaiin lebih banyak daripada kata-kata. Tatapan dia malam itu beda. Ada rasa yang nggak buru-buru. Tapi juga nggak bisa ditunda terus.
“Kalau hujannya nggak berhenti-berhenti, kita nungguin sampai pagi aja ya,” katanya sambil senyum kecil. Saya nggak jawab, cuma ngangguk… sambil diam-diam berharap hujan benar-benar lama.
Bukan karena saya suka basah. Tapi karena saya mulai suka… dia.
Pernah nggak sih kamu kepikiran, hujan itu alasan semesta buat bikin dua orang berdiri lebih lama dari yang seharusnya?
Kalau kamu punya kenangan di balik suara hujan, aku tunggu ceritamu di email. Siapa tahu, ceritamu juga punya aroma jaket yang masih hangat. 😉
Deskripsi :
Cerita romantis tentang hujan, jaket, dan diam-diam yang penuh makna. Ketika dua orang berdiri bersama terlalu lama, kadang bukan cuaca yang jadi alasannya.